Analisa Semiotika (Analisis) - Bagian 3

By | September 25, 2019 Leave a Comment

Karakteristik pertama, linearitas penanda ( linear nature of the signifier ), berkaitan dengan dimensi kewaktuannya. Penanda-penanda kebahasaan harus diproduksi secara beruntun, satu demi satu, tidak mungkin secara sekaligus atau simultan. Artinya, penanda tersebut bersifat linier karena "pendengaran penanda memiliki perintah mereka hanya dimensi waktu." Ini "merupakan sejengkal, dan rentang yang dapat diukur dalam dimensi tunggal" - yaitu waktu. Saussure says that linguistic signs are by nature linear, because they represent a span in a single dimension. Auditory signifiers are linear, because they succeed each other or form a chain. Visual signifiers, in contrast, may be grouped simultaneously in several dimensions (tanda-tanda linguistik secara alami linear, karena mereka mewakili rentang dalam dimensi tunggal. Penanda pendengaran adalah linear, karena mereka berhasil satu sama lain atau membentuk rantai. Penanda visual, sebaliknya, dapat dikelompokkan secara bersamaan dalam beberapa dimensi).

Karakteristik kedua, kearbitreran tanda (the arbitrary nature of the signs), bersangkutan dengan relasi di antara penanda dan petanda yang “semena-mena” atau “tanpa alasan”—tak bermotivasi (unmotivated). Relasi di antara penanda dan petanda adalah semata-mata berdasarkan konvensi (Kris Budiman 2011, 66). Selanjutnya Seassure di kesempatan yang lain mengatakan bahwa bahasa lisan mencakup komunikasi konsep melalui suara-gambar dari pembicara ke pendengar. Bahasa adalah produk komunikasi pembicara dari tanda-tanda untuk pendengar. Tanda linguistik adalah kombinasi dari konsep dan suara-gambar. Konsepnya adalah apa yang ditandakan, dan suara-gambar penanda. Kombinasi signifier dan signified adalah sewenang-wenang, yaitu, suara apapun citra dibayangkan dapat digunakan untuk menandakan sebuah konsep tertentu. Namun, terkadang ada perubahan-perubahan dalam hubungan signifier dan signified dan perubahan tanda-tanda linguistik berasal dari perubahan kegiatan sosial. Tanda-tanda arbitrer disebut secara khusus oleh Pierce, sebagai simbol (symbol) (Kris Budiman 2011: 66). Oleh karena itu, dalam terminologi Pierce, bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem simbol lantaran tanda-tanda yang membentuknya bersifat arbitrer dan konvensional. Misalnya, Hewan yang menggonggong dikatakan anjing oleh orang Indonesia dan dog oleh Inggris. Masing-masing bangsa itu sungguh “semena-mena” dalam menamakan hewan yang menggonggong tadi. Di dalam tatanan budaya itu ‘bermacam area kehidupan sosial terlihat dipetakan ke dalam wilayah diskursif, wilayah itu secara hierarkis terorganisasi menjadi pemaknaan-pemaknaan yang dominan atau yang disukai’. Karena tatanan budaya itu tidak tunggal dan bukannya tidak dipersoalkan, maka pemaknaan yang disukai menjadi bisa dijamin. Tapi karena tatanan itu dominan, maka tatanan itu pastilah mendukung suatu keseimbangan probabilitas, sebab tatanan itu menguntungkan bagi beberapa pembacaan-pembacaan yang bersifat pribadi varian. Seperti contoh di atas jika kata anjing disepakati oleh masyarakat internasional untuk menamakan hewan menggonggong, maka akan kesulitan bagi mereka yang sulit mengucapkan kata anjing. Jadi ada kesewenang-wenangan dalam memaknai dan menamai tanda gonggong itu dimiliki oleh anjing bagi orang Indonesia, begitu juga di seluruh dunia yang tidak sama menamai hewan menggonggong. Tetapi “perspektif selektif” hampir tidak pernah secara seselektif, seacak, dan sepribadi apa yang dikatakan oleh konsepnya. Namun, dalam masalah peristilahan ini pula kemudian timbul kesengkarutan karena Saussure dan Pierce ternyata menggunakan satu istilah yang sama untuk menunjuk kepada konsep yang sama sekali bertolak-belakang. Menurut terminologi Pierce, simbol adalah tanda arbitrer, sementara Saussure sebaliknya, dan mengatakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang tidak sepenuhnya arbitrer. Kerancuan ini dapat menjadi pelajaran bagi siapa saja yang belajar semiotika agar senantiasa waspada dan tidak sembrono dengan terminologi dan konsep-konsep karena nyaris setiap pemikir dan “selebriti” semiotika menggunakan istilah yang sama atau hampir sama, namun pengertiannya bisa berbeda sama sekali. Akan tetapi terlepas dari kerancuan konseptual tersebut, boleh dikatakan bahwa hampir sepanjang riwayatnya linguistik dan semiotika terlampau menekankan pada konvensionalitas atau kearbitreran tanda sehingga kerap mengabaikan karakteristik tanda yang sebaliknya—seolah-olah bahasa tidak mungkin berkarakteristik ikonitas menurut Saussure yang menurut Pierce menaruh perhatiannya terhadap masalah ikonitas.

Begitu peliknya masalah yang dihadapi dalam artikulasi serat memaknai tanda-tanda menurut Saussure dan Pierce. Meskipun keduanya hidup bersamaan di zamannya, namun mereka tidak pernah saling kenal dan bertemu. Akan tetapi para murid-muridnya mencoba merangkum apa yang dimaksudkan oleh Saussure dengan linguistik dan Pierce mengatakan dengan nama lain dari semiotika adalah Logika atau permainan logika. Perkembangan yang semakin menunjukkan eksitensi tentang semiotika berkaitan dengan pemaknaan tanda. Kami akan mencoba menjelaskan apa yang dimaksud dengan ikon dan ikonitas yang merupakan tanda-tanda non-atbitrer menurut Pierce.

Ikon dan Ikonisitas Bagi Pierce, ikon termasuk dalam tipologi tanda pada trikotomi kedua. Ikon merupakan sebutan bagi tanda yang non-arbitrer (bermotivasi). Menurut Pierce, Ikon adalah hubungan antara tanda dan objeknya atau acuan yang bersifat kemiripan (Sobur, 2004:41). Dia menyatakan bahwa ikon adalah tanda yang memiliki kemiripan/similaritas dengan objeknya (Budiman, 2005:45). Ikon, jika ia berupa hubungan kemiripan (Nurgiyantoro, 1995:45). Ikon merupakan tanda yang didasarkan oleh adanya similaritas (similarity) atau “keserupaan” (resemblance) di antara kedua kolerat tersebut (Budiman 2011: 69). Jenis tanda yang didasari resemblance itu adalah tanda ikonis dan gejalanya dapat disebut sebagai ikonisitas. Ikonisitas merupakan salah satu gejala yang tidak kurang penting di dalam semiotika. Padahal, berbagai tanda ikonis berserakan di sekitar kita dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: gambar wajah Dian Sastro tersenyum manja dengan bibir merah basah merekah sedikit terbuka dalam bungkus sabun, wajah Hitler pada kaos kita, atau gambar group band Peterpan dalam poster (ketiganya adalah ikon Images). Betapa terpolusinya kehidupan kita dengan tanda ikonis, tetapi kadang tidak terpikirkan. Di dalam bahasa, kita menemukan kata onomatope sebagai tanda ikonis, misalnya kata ku ku ru yuk yang mengacu pada objek suara yang diacunya, yaitu Ayam Jago. Selain itu, kata dangdut yang juga mengacu pada objek suara yang diacunya. suatu tanda, atau representamen, merupakan sesuatu yang menggantikan sesuatu bagi seseorang dalam beberapa hal atau kapasitas. Ia tertuju kepada seseorang, artinya di dalam benak orang itu tercipta suatu tanda lain yang ekuivalen, atau mungkin suatu tanda yang lebih terkembang. Tanda yang tercipta itu saya sebut sebagai interpretan dari tanda yang pertama. Tanda yang menggantikan sesuatu, yaitu objeknya, tidak dalam segala hal, melainkan dalam rujukannya pada sejumput gagasan, yang kadang saya sebut sebagai latar dari representamen (Budiman, 2011: 73). Pierce, menyusun tipe ikon secara triparit. Yang mana karakteritik arbitrer dan konvesional itu hanya terdapat pada salah satu sub-tipe tanda yang dinamakannya sebagai simbol  (Budiman, 2011: 69). Tipe-tipe ikon itu misalnya, ikon image, ikon diagram, dan ikon metaforis. Ikon metafora (metaphor) merupakan suatu meta-tanda (metasign) yang ikonisitasnya berdasarkan pada kemiripan atau similaritas di antara objek-objek dari dua tanda simbolis. Biasanya berupa hubungan similaritas relasi abstrak seperti kemiripan sifat. Contoh ikon metafora : Metafora “Kaki Gunung” dapat dihasilkan dengan mempersamakan objek yang berupa gunung dengan objek lain yang berupa tubuh manusia (atau hewan) yang memilih kaki. Kemiripannya, sama-sama berada di bawah dan berfungsi untuk menopang tubuh atau gunung.

0 komentar:

Posting Komentar